Alkisah ada sesuatu, sebut saja ia Kegelapan. Kegelepan tak mengenal apapun. Dia terkurung dalam suatu ruang tanpa cahaya walau setitik. Kegelapan terus mempertanyakan mengapa hanya hitam warna yang ia tahu. Lalu suatu hari muncul sebuah lilin yang bercahaya. Kegelepan pun mengenal cahaya. Dari cahaya lilin kegelapan pun bisa melihat ruang yang ia tempati walau tidak begitu jelas. Tapi lilin tetap lah lilin, ia terus meleleh bersama cahaya yang dimilikinya. Dan ketika lelehannya habis maka cahaya yang dibawa lilin pun sirna. Kegelepan kembali terkurung dalam gelap.
Tak berapa lama muncul bola lampu. Ia langsung menerangi seisi ruangan. Putih, warna kedua yang dikenal Kegelapan selain hitam. Dan ia juga mengenal banyak benda lain. Sejauh mata memandang, semua yang ada diruang bisa dilihat oleh Kegelapan. Cahaya bola lampu terus menemani kegelapan, tak pernah mati karena tak ingin Kegelapan terkurung lagi dalam pekatnya gelap.
Seperti pada umumnya, Kegelapan yang sudah tahu cahaya mulai merasa bosan hanya berada didalam ruangan. Dia ingin keluar tapi tak tahu kemana. Tak ada pintu bahkan jendela. Lagipula bola lampu masih setia bersinar. Lalu tanpa diduga, sebuah jendela terbentuk, kecil tapi kalau mau Kegelapan bisa keluar dari jendela itu. Kegelapan mendekati jendela itu, melihat dengan ragu kearah luar. Kegelapan merasa hatinya membuncah, terik matahari, hijau pepohonan, biru langit semua memanjakan matanya.
Ingin dan ingin keluar dari jendela menuju tempat yang baru. Tapi jendela itu kadang memasang jerujinya hingga Kegelapan hanya bisa memandang dari dalam. Bola lampu pun tahu keinginan Kegelapan. Mereka sama - sama tahu tapi tak tahu harus berbuat apa. Bola lampu tahu jika Kegelapan pergi maka ia hanya bola lampu tanpa ada yang peduli lagi tentang sinarnya. Kegelapan tahu jika ia pergi dari ruangan ini belum tentu cahaya matahari lebih indah, masih ada mendung, masih ada malam. Di ruangan ini bola lampu selalu setia bersinar tanpa mempedulikan hari. Diam, bingung, itulah yang mereka rasakan.
Ksatria Lv Perikecil
Kami tinggal di sebuah kerajaan yg bernama Langit perak, tempat sang ksatria dan perikecil menghabiskan waktu bersama, tempat dimana ada canda tawa dan air mata. Langit perak adalah rumah kami.
Kamis, 22 Agustus 2013
Senin, 19 Agustus 2013
..............
Berkali - kali aku ingin menutup saja blog ini, tapi berkali - kali pula aku tak kuasa.
Kasihan kamu blog, hanya aku seorang yg mengisi itu pun ratusan tahun sekali.
Ada banyak kisah yg ingin kutuangkan tapi lagi - lagi aku terlalu lelah mengungkapkan.
Aku ingin menghilang, mungkin menyingkir dan membiarkan hati berpikir itu jalan terbaik.
Kalau berkata tentang perumpamaan, aku seperti buku tulis. Ketika ada komputer, laptop atau bahkan handphone untuk mengetik setiap kata, maka aku terlupakan tapi ketika semua itu tak lagi asik, rusak maka aku akan digunakan kembali. Sok merana ya aku. -___-"
Nah, aku akan nulis puisi yg tidak jelas puisi atau tidak.
Ada dan terbiasa, disini dan tetap disisi
tak merasa hilang dan tak perlu ditangisi
mungkin lenyap lalu diri tak terlihat
itu lebih baik meski terdengar jahat
Ketika tiada merangkum hari
apakah kau akan mencari hati
atau kau akan meminta pulang
tidak lagi menjadi jalang
aku dan cinta masih memiliki
meski luka terus menggrogoti
niatkah kau untuk mengobati
atau membiarkan membusuk sampai mati
sudahlah, lepas dan terbang bebas
kepakan sayapmu sampai kebas
demi bahagia merengkuh senyummu
rela harus ku toreh dan ku jamu
tak ada lagi alasan, tak ada lagi kesan
biar semua menjadi pesan dan hanya lisan.
Kasihan kamu blog, hanya aku seorang yg mengisi itu pun ratusan tahun sekali.
Ada banyak kisah yg ingin kutuangkan tapi lagi - lagi aku terlalu lelah mengungkapkan.
Aku ingin menghilang, mungkin menyingkir dan membiarkan hati berpikir itu jalan terbaik.
Kalau berkata tentang perumpamaan, aku seperti buku tulis. Ketika ada komputer, laptop atau bahkan handphone untuk mengetik setiap kata, maka aku terlupakan tapi ketika semua itu tak lagi asik, rusak maka aku akan digunakan kembali. Sok merana ya aku. -___-"
Nah, aku akan nulis puisi yg tidak jelas puisi atau tidak.
Ada dan terbiasa, disini dan tetap disisi
tak merasa hilang dan tak perlu ditangisi
mungkin lenyap lalu diri tak terlihat
itu lebih baik meski terdengar jahat
Ketika tiada merangkum hari
apakah kau akan mencari hati
atau kau akan meminta pulang
tidak lagi menjadi jalang
aku dan cinta masih memiliki
meski luka terus menggrogoti
niatkah kau untuk mengobati
atau membiarkan membusuk sampai mati
sudahlah, lepas dan terbang bebas
kepakan sayapmu sampai kebas
demi bahagia merengkuh senyummu
rela harus ku toreh dan ku jamu
tak ada lagi alasan, tak ada lagi kesan
biar semua menjadi pesan dan hanya lisan.
Senin, 03 Juni 2013
Robot Pemburu Hati 2
Entah sudah berapa lama kami menjadi pelarian. Tak pernah menetap disatu tempat, terlalu berbahaya, robot pemburu hati atau yang bisa kami sebut Reater terus mencari keberadaan kami. Kami harus bersembunyi bahkan untuk keluar dari persembunyian kami harus membawa binatang yang sengaja kami pelihara untuk mengalihkan perhatian. Para robot bisa mengetahui hati yang berdetak tapi tidak bisa tahu jika itu kami karena para binatang lah yang mereka kira.
"Jangan sampai kita sakit hati. jika diantara kita merasakan sakit hati, saya mohon dengan sangat keluar lah dari kelompok. Saya tak ingin membahayakan kita manusia yang memiliki hati ditangkap oleh Reater." Itu ucapan Paman Owe, dia lah pemimpin kelompok kami yang terdiri dari 23 orang. Sakit hati sangat berbahaya, manusia seperti kami memang tak bisa mengetahuinya tapi para Reater akan langsung tahu dan menuju si sakit hati. Untuk itulah paman langsung berpesan pada kami semua.
Umurku hari ini 14 tahun, tidak ada perayaan, siapa yang bakal mengingatnya kalau semua orang berada dalam kecemasan. Aku hanya sendiri, orangtua, kakak Sina sudah menjadi Nohet - manusia yang tak memiliki hati - keluargaku hanya Paman Owe dan Kak Rom. Paman Owe yang pernah menjadi Bupati di kota kecil kami berhasil membawa kelompok kami kabur dari Reater. Dan Kak Rom yang tentara militer mengajari kami bertahan hidup di hutan.
"Selamat ulang tahun Val." Kak Rom duduk disampingku. Aku terkejut karena dia ingat dengan hari ulang tahunku.
"Terima kasih kak. Aku kira tak akan ada yang ingat."
"Tak mungkin aku lupa, biasa tiap tahun kamu akan ribut kalau tidak diberi kado." senyum Kak Rom membuatku tersenyum juga. Kadang mengingat masa lalu membuat kami kuat, ya kadang.
"Apakah kita akan menetap terus disini kak?"
"Belum tahu Val. Profesor Kul masih mencari cara agar tempat kita tak terdeteksi oleh Reater tanpa harus menaruh binatang di permukaan." ya, kami tinggal dibawa tanah, dengan teknologi yang berhasil kami bawa juga profesor Kulyang menciptakan alat agar kami bisa hidup di dalam tanah.
"Yang paling aku takutkan malah para Heater. Mereka lebih berbahaya, mereka bisa membedakan mana kita mana binatang. ya meskipun kita bisa menyamar jadi Nother." aku mengangguk mendengar perkataan Kak Rom. Heather adalah para pesakitan hati yang memang menyerahkan diri untuk diambil hatinya oleh para Rother. Seperti kata Kak Rom, orang yang sakit hati memang berbahaya. Sudah dua bulan kami tinggal di dalam tanah yang berada di hutan. Tiap hari kami bisa mendengar Rother berkeliling di dalam hutan untuk mencari kami. Kami tak pernah tidur nyenyak takut Rother menemukan kami. Saat dini hari lah kami baru berani keluar itu pun hanya orang yang kuat dan pemberani yang boleh keluar untuk mencari makanan. Memang di dalam tanah kami memelihara binatang juga air pun tersedia, tapi kami juga butuh bahan makanan lain. Sudah sering aku meminta diajak dalam tim pencari tapi Paman tak mengizinkan, terlalu berbahaya dan aku masih belum cukup umur.
"Profesor, apakah para nother bisa dikembalikan hatinya?" mendengar pertanyaanku profesor Kul menghentikan pekerjaannya.
"Hem.....bagaimana ya Val, bukannya saya tidak mau menjawab pertanyaanmu tapi saya ini profesor teknologi. Saya bisa membuat alat canggih dan sekarang sedang mengembangkan senjata melawan Rother, tapi kalau mengembalikan Rother seperti sedia kala, saya tak tahu." Profesor menjelaskan kemudian kembali berkutat pada alat yang sedang ia kembangkan.
"Apakah senjata buatan profesor bisa berhasil?"
"Begini Val, daripada mengganggu ku lebih baik kamu yakinkan paman mu untuk mencuri peralatan yang aku minta minggu lalu. Kalau hanya dengan peralatan seadanya bagaimana mungkin senjata ini bisa siap."
"memangnya apa saja yang dibutuhkan prof?" profesor Kul menjawab tanpa memperhatikan ku. Aku mencatat semua dan pergi meninggalkan profesor. Sekarang aku punya misi penting.
Tak akan ada yang tahu aku diam - diam keluar dari aliran air di dalam tanah. Mereka terlalu memperhatikan keadaan diluar saat tim pencari akan pulang. Ini lah saat yang tepat. Aku sudah diam - diam mengambil senjata dari tempat profesor. Hanya bersembunyi juga tak akan berarti banyak, aku harus cepat, menuju kota dan mencuri dari supermarket di kota. Aku bisa menyamar jadi Nother. Asal tak menimbulkan gerak - gerik mencurigakan, Rother tak akan menangkap dan memeriksa apakah aku masih memiliki hati. Semua sudah ku rencanakan. Membawa tupai dalam tas untuk mengelabui sensor kehidupan Rother. Tinggal sedikit lagi kota sudah terlihat.
Dibawa kota terlihat bersama datangnya pagi. Aku melepaskan tupai dari tas ku ke dalam hutan. Sekarang aku tinggal berjalan menuju kota.
"berhenti!!!" suara teriakan itu membuatku berhenti melangkah. Pakaian serba hitam, ah...sial itu pasti Heather.
"Sebutkan nama dan mau kemana?"
Sial, kalau menyebutkan nama yang tidak ada di database mereka aku bisa ketahuan. Aku tak mengira akan dicegat ditengah jalan seperti ini. Apa yang harus aku lakukan?
"Hei...kamu dengar kata saya tadi? sebutkan nama dan tujuan! atau kamu ini manusia hah?" pertanyaan itu membuat jantungku langsung berdetak kencang.
"X, seperti dia manusia. Ada aktifitas hati dilayar." tidak, aku tertangkap. Habis sudah.
Minggu, 02 Juni 2013
Robot Pemburu Hati
Seharusnya Tuhan tak menciptakan hati. Hati membuat manusia menderita, merasakan kesakitan luar biasa, lebih sakit daripada darah yang menetes keluar dari luka. Tuhan terlalu kreatif. Dia bahkan menciptakan bukan hanya lelaki mencintai perempuan tapi juga perempuan mencintai perempuan dan lelaki mencintai lelaki. Begitu rumit semua hal tentang hati ini. Tapi Tuhan juga menciptakan manusia dengan kepintaran dan keahlian, maka tak ku sia2 kan kepintaran ku ini. Biar hati ku membusuk bersama kesakitannya.
Robot ini kuciptakan untuk membasmi hati. Ku ciptakan robot ini menembaki manusia yg memiliki hati yg sakit. Sekali tembakkan maka rasa sakit hati akan lenyap, tp nyawa tidak akan lenyap. Tetap hidup hanya saja hati tak ada lagi.
Seberapa pun pintarnya aku lupa akan satu hal, aku tak dapat menciptakan umur. Usia membuat semua gerakan ku menjadi lambat, aku lebih sering kelelahan dan lupa sudah berapa manusia yang menghilang hatinya. Sebelum kematian menjemputku, aku harus berbuat sesuatu.
132 tahun kemudian
Saya robot pertama ciptaan profesor. Sebelum profesor meninggal, profesor menciptakan otak untuk ku, otak yg tersimpan semua memori profesor. Aku bisa melihat betapa menderitanya profesor ketika hatinya tersakiti. Awal kisah cinta yang indah antara profesor Sandra dan kekasihnyanya Tika, harus berakhir dengan pertengkaran dan sakit hati. Lalu ingatan profesor tentang orangtuanya yang saling mencintai tapi ketika anak - anak mereka beranjak dewasa, mereka memutuskan untuk bercerai. Masih banyak kisah tentang hati tersakiti, tetangga yang selingkuh, teman yang bunuh diri akibat ditinggal kekasihnya, sepupu yang gila menghadapi istri yang egois, rekan kerja yang membawa kabur uang demi melarikan anak pengusaha tapi akhirnya harus terjerat obat - obatan terlarang karena kekasihnya memilih berpisah darinya.
Semua kenangan itu membuatku kasihan pada manusia yang memiliki hati. Maka kuciptakan robot, bukan hanya satu tapi banyak. Robot - robot itu ku sebarkan keseluruh penjuru bumi. Menembaki manusia - manusia yang memiliki hati, bukan hanya hati yang tersakiti seperti yang aku lakukan dulu, tapi semua hati. Tak ada gunanya membiarkan manusia memiliki hati toh hati itu lama - lama akan berkembang dan merusak manusia. Jadi tak ada pengecualian.
Hari ini manusia hidup tanpa hati. Semua berjalan damai. Aku menetapkan peraturan dan para manusia menurut. Mereka menjalani hidup dibawah perintahku, tak ada lagi yang tersakiti, tak ada lagi kisah sedih mengenai hati.
Pemburuan masih tetap dilakukan hingga saat ini, masih saja ada manusia yang tak mau percaya dengan perkataanku. Mereka bersembunyi dan kabur dari kami. Tapi jumlah mereka hanya sedikit, lama kelamaan mereka pasti tertangkap. Dunia tanpa hati yang kuciptakan pasti bisa sempurna. Profesor Sandra pasti bangga denganku.
Lupakan dan Berlayar lah
Hapus saja semua jejak ku, seperti pasir pantai yang kau tampak lalu tersapu oleh ombak.
Anggap saja aku buih ombak yang datang hanya saat ombak menghantam lautan.
Terlihat sesaat lalu menghilang bersama ombak yang tenggelam di lautan.
Pergilah berlayar, kembangkan layar yang selama ini tak selalu ingin kau buka.
Tarik sauh, biarkan para pelaut melihat kapalmu berlayar.
Temukan lah petualangan yang selama ini kau dambakan.
Lupakan aku disini, anggap saja aku hanya tempat mu singgah ketika lelah berlayar.
Anggap saja aku buih ombak yang datang hanya saat ombak menghantam lautan.
Terlihat sesaat lalu menghilang bersama ombak yang tenggelam di lautan.
Pergilah berlayar, kembangkan layar yang selama ini tak selalu ingin kau buka.
Tarik sauh, biarkan para pelaut melihat kapalmu berlayar.
Temukan lah petualangan yang selama ini kau dambakan.
Lupakan aku disini, anggap saja aku hanya tempat mu singgah ketika lelah berlayar.
Selasa, 19 Februari 2013
Kisah Pendek : SENIN
Hari
senin bergulir lagi. Hari yang berarti aku akan bertemu kembali dengan
mu, memiliki lagi selama lima hari. Tapi senin ini aku merasakan hal
lain, mungkin lebih tepatnya sejak jumat yang lalu saat kita habis
bercinta. Dengan masih bugil, kau letakkan telapak tanggan ku diperutmu.
“Apakah kamu bisa merasakannya sayang?” Tanya mu ketika itu.
“Merasakan apa? Tambah gemuk?” kamu malah mencubitku gemas.
“Bukan itu sayang. Disini bersemayam janin yang bakal menjadi bayi.” Mendengar itu aku tertegun tak tahu harus berkata apa. Bisa kulihat semburat kebahagiaan terpancar diwajahmu. “selamat.” Hanya kata itu yang terucap sampai aku pergi dan meninggalkan mu yang akan menunggu suami mu datang esok harinya.
Hari jumat, ya hari jumat yang seharusnya aku yang menyampaikan kabar gembira padamu malah berubah terbalik. Bisakah hari ini aku melangkah ke rumahmu. Rumah yang sebentar lagi akan dipenuhi gelak tawa seorang bayi.
Biasanya senin kuhabiskan dengan melihatmu yang berusaha merayu dan menenangkan ku dari cemburu.
Senin merupakan awal perjuanganmu menyingkirkan bayangan suamimu dari benakku. Bahkan untuk sekedar ciuman saja aku bisa membayangkan kau berciuman dengan suamimu. Melihat tubuh telanjangmu membuatku membayangkan tubuhmu yang bersanding mesra dengan tubuh suamimu.
Pertama – tama kau akan mengajakku kekamar mandi, melepas semua pakaianmu dan pakaian ku, lalu dibawa siraman shower kita saling membasuh. Inci perinci ku basuh tubuhmu dari jejak suamimu. Wajahmu kuciumi dengan sejuta ciuman agar hanya aku yang melekat dibenakmu, kusabuni lekuk leher dan ranum payudaramu agar hanya jejakku yang tertinggal disana. Kubasuh lembut tubuhmu agar hanya aku lah yang memilikimu. Kau akan pasrah membiarkan tanganku bergerilya dan kau akan mendesah nikmat saat tanganku bergerak menyapu lembut kewanitaanmu. Senin pagi, dengan air hangat yang membasuh kita, semua akan terlupakan, cemburuku akan hilang dan hanya aku bersamamu.
Senin pagi ketika suami mu kembali lagi keluar kota dimana dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan mu, senin yang berarti pula aku kembali lagi padamu.
Tapi lagi – lagi berat kaki ku melangkah kerumahmu.
Apakah aku harus berhenti menapaki rumahmu? Jumat yang lalu seharusnya kuucapkan kalimat itu, kalimat yang tertahan akibat berita bahagiamu.
“Pergilah bersamaku sayang, aku mendapat pekerjaan di Singapura. Kita akan bahagia disana.” Ya, seharusnya kata itu yang terucap. Tapi aku terlalu pengecut. Bukan karena aku juga wanita sama sepertimu, tapi aku terlalu pengecut untuk membesarkan anak yang kutahu adalah hasil percintaanmu dengan suamimu. Aku terlalu cemburu untuk menyayangi anakmu, ya aku egois, memang.
“Apakah kamu bisa merasakannya sayang?” Tanya mu ketika itu.
“Merasakan apa? Tambah gemuk?” kamu malah mencubitku gemas.
“Bukan itu sayang. Disini bersemayam janin yang bakal menjadi bayi.” Mendengar itu aku tertegun tak tahu harus berkata apa. Bisa kulihat semburat kebahagiaan terpancar diwajahmu. “selamat.” Hanya kata itu yang terucap sampai aku pergi dan meninggalkan mu yang akan menunggu suami mu datang esok harinya.
Hari jumat, ya hari jumat yang seharusnya aku yang menyampaikan kabar gembira padamu malah berubah terbalik. Bisakah hari ini aku melangkah ke rumahmu. Rumah yang sebentar lagi akan dipenuhi gelak tawa seorang bayi.
Biasanya senin kuhabiskan dengan melihatmu yang berusaha merayu dan menenangkan ku dari cemburu.
Senin merupakan awal perjuanganmu menyingkirkan bayangan suamimu dari benakku. Bahkan untuk sekedar ciuman saja aku bisa membayangkan kau berciuman dengan suamimu. Melihat tubuh telanjangmu membuatku membayangkan tubuhmu yang bersanding mesra dengan tubuh suamimu.
Pertama – tama kau akan mengajakku kekamar mandi, melepas semua pakaianmu dan pakaian ku, lalu dibawa siraman shower kita saling membasuh. Inci perinci ku basuh tubuhmu dari jejak suamimu. Wajahmu kuciumi dengan sejuta ciuman agar hanya aku yang melekat dibenakmu, kusabuni lekuk leher dan ranum payudaramu agar hanya jejakku yang tertinggal disana. Kubasuh lembut tubuhmu agar hanya aku lah yang memilikimu. Kau akan pasrah membiarkan tanganku bergerilya dan kau akan mendesah nikmat saat tanganku bergerak menyapu lembut kewanitaanmu. Senin pagi, dengan air hangat yang membasuh kita, semua akan terlupakan, cemburuku akan hilang dan hanya aku bersamamu.
Senin pagi ketika suami mu kembali lagi keluar kota dimana dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan mu, senin yang berarti pula aku kembali lagi padamu.
Tapi lagi – lagi berat kaki ku melangkah kerumahmu.
Apakah aku harus berhenti menapaki rumahmu? Jumat yang lalu seharusnya kuucapkan kalimat itu, kalimat yang tertahan akibat berita bahagiamu.
“Pergilah bersamaku sayang, aku mendapat pekerjaan di Singapura. Kita akan bahagia disana.” Ya, seharusnya kata itu yang terucap. Tapi aku terlalu pengecut. Bukan karena aku juga wanita sama sepertimu, tapi aku terlalu pengecut untuk membesarkan anak yang kutahu adalah hasil percintaanmu dengan suamimu. Aku terlalu cemburu untuk menyayangi anakmu, ya aku egois, memang.
Kisah Pendek : SABHRINA
Namanya
Sabhrina dan aku telah mengenalnya semenjak bayi, ya walaupun aku tak
ingat bagaimana kami berkenalan waktu bayi tapi kami sudah bertetangga
sejak lama karena ayah dan ibu membeli rumah disamping rumah Sabhrina
waktu mereka baru menikah.
Kami seumuran dan juga anak semata wayang keluarga. Semenjak kecil kami selalu bermain bersama, sekolah di TK yang sama dan di SD yang sama pula. Tiap pulang dari sekolah kami selalu cepat - cepat berganti pakaian, makan siang dan segera berlari bersama untuk bermain di bukit belakang rumah. Aku yang tomboy selalu menjadi pangeran dan dia yang lembut menjadi putri.
"Kalau besar nanti, Lufi akan tetap menjadi pangeran Sabhrina." Kata ku kala itu, kata - kata yang kuceploskan tanpa ku pikir panjang, karena aku masih anak - anak.
"Janji?"
"Lufi janji." Mendengar janjiku, Sabhrina langsung mengecup bibirku. Aku tersenyum dan mengelus kepala Sabhrina dengan sayang. Kami pun saling menautkan jari kelingking. Sungguh indah masa kecil kami, tak perlu memikirkan hal yang rumit. Dimana ada Lufi pasti disitu Sabhrina berada begitu pula sebaliknya. Kami tak terpisahkan.
Saat masuk SD kelas kami berlainan dan Sabhrina menangis karena itu, aku pun berusaha membujuknya.
"Sabhrina mau satu kelas dengan Lufi."
"Tapi guru sudah menentukan kelas kita, Sabhrina tidak boleh begitu nanti Sabhrina dibilang bandel oleh guru."
"Tapi Sabhrina tidak mau pisah dari Lufi." Tangis Sabhrina tak mau berhenti.
"Begini saja, kan kita dikelas untuk belajar jadi tak apa kita beda kelas karena kita tak bisa mengobrol. Nanti waktu istirahat Lufi pasti langsung mencari Sabhrina dan kalau ada PR tetap kita kerjakan bersama." Begitu bijaknya aku ketika kecil dan mendengar itu akhirnya dia menghentikan tangisnya, maka kami pun kembali memasuki kelas.
Sikap Sabhrina dari kecil memang sangat manja apalagi terhadapku, dia sangat manja dan ingin dinomor satukan. Kalau dilihatnya aku bermain dan mengobrol akrab dengan teman sekelasku, pasti dia akan ngambek dan aku harus membujuknya dengan susah payah. Aku tak merasa keberatan dengan sikap Sabhrina itu karena aku juga sangat menyayangi dia dan akan selalu menjaganya. Itu lah janji ku padanya dilain waktu.
Kebersamaan kami rupanya harus berakhir. Ayah mendapat pekerjaan baru yang lebih bagus dan memutuskan pindah dengan memboyong aku dan ibu, apalagi waktu itu ibu sedang hamil. Perpisahan tak terelakkan. Kami yang masih berumur sepuluh tahun menangis sambil berpelukan dan berjanji untuk tak saling melupakan dan rajin mengirim surat. Aku pun pindah. Awal mula aku rajin menulis surat dan Sabhrina juga rajin membalas suratku. Tapi lama - lama surat - surat itu menjadi tak rajin ku tulis, selain karena tugas yang banyak dari sekolah juga karena teman baru. Aku masih kecil ketika itu dan memoriku semakin pudar akan keberadaan Sabhrina. Surat yang tiap hari menjadi seminggu sekali, lama - lama sebulan sekali dan makin lama menjadi berbulan - bulan baru kukirim bahkan jadi terhenti begitu saja. Lain dengan Sabhrina, dia tetap rajin menulis surat, menceritakan sepinya dia disana, rindunya, ingin bertemu. Tapi karena tak kunjung ku balas surat dari Sabhrina pun terhenti. Memori ku telah awus dan menghilangkan sosok Sabhrina diingatanku.
Sampai hari ini, hari ini lah aku mengingat semua kenangan itu. Hari ketika aku menjalani tugas sebagai dokter di desa dimana masa kecil ku berlangsung. Semula aku tak ingat sampai menginjakkan kaki lagi dibekas rumahku yang sekarang berubah menjadi klinik tempatku bekerja dan rumah Sabhrina telah menjadi rumah tua yang bentuk nya masih sama tapi terlihat tua dan tak terawat. Aku yang mencoba mengingat kenangan masa kecil berjalan kerumah Sabhrina dan disitulah aku bertemu dengannya lagi. Sabhrina menagih janjiku untuk menjadi pangerannya dan menjaganya selamanya. Aku tertegun, apa janji dimasa kecil masih berlaku? dulu aku masih lugu dan polos. Mengucapkan janji begitu saja. Ah, ya mungkin Sabhrina memang lesbian tapi bukan karena itu aku menolak. Aku memang juga lesbian dan aku menyadarinya sejak kecil. Yang membuatku menolak adalah karena sekarang yang sedang berbicara dan menangih janji padakuu adalah roh Sabhrina. Ya, Sabhrina telah meninggal dunia. Tepat ketika kelulusan SD dia mengalami kecelakaan. Tak sengaja sebuah mobil truk menabraknya ketika dia pulang kerumah.
"Lufi.....Sabhrina sudah menunggu sekian tahun disini. Sabhrina yakin Lufi akan kembali. Sekarang Lufi telah kembali dan kita akan bersama lagi." Suara itu terdengar dingin dan membuat bulu kuduk ku merinding. Aku tak dapat bergerak, suara ku pun hanya tertahan dikerongkongan. Sabhrina semakin dekat dan sepertinya aku hanya bisa pasrah.
Kami seumuran dan juga anak semata wayang keluarga. Semenjak kecil kami selalu bermain bersama, sekolah di TK yang sama dan di SD yang sama pula. Tiap pulang dari sekolah kami selalu cepat - cepat berganti pakaian, makan siang dan segera berlari bersama untuk bermain di bukit belakang rumah. Aku yang tomboy selalu menjadi pangeran dan dia yang lembut menjadi putri.
"Kalau besar nanti, Lufi akan tetap menjadi pangeran Sabhrina." Kata ku kala itu, kata - kata yang kuceploskan tanpa ku pikir panjang, karena aku masih anak - anak.
"Janji?"
"Lufi janji." Mendengar janjiku, Sabhrina langsung mengecup bibirku. Aku tersenyum dan mengelus kepala Sabhrina dengan sayang. Kami pun saling menautkan jari kelingking. Sungguh indah masa kecil kami, tak perlu memikirkan hal yang rumit. Dimana ada Lufi pasti disitu Sabhrina berada begitu pula sebaliknya. Kami tak terpisahkan.
Saat masuk SD kelas kami berlainan dan Sabhrina menangis karena itu, aku pun berusaha membujuknya.
"Sabhrina mau satu kelas dengan Lufi."
"Tapi guru sudah menentukan kelas kita, Sabhrina tidak boleh begitu nanti Sabhrina dibilang bandel oleh guru."
"Tapi Sabhrina tidak mau pisah dari Lufi." Tangis Sabhrina tak mau berhenti.
"Begini saja, kan kita dikelas untuk belajar jadi tak apa kita beda kelas karena kita tak bisa mengobrol. Nanti waktu istirahat Lufi pasti langsung mencari Sabhrina dan kalau ada PR tetap kita kerjakan bersama." Begitu bijaknya aku ketika kecil dan mendengar itu akhirnya dia menghentikan tangisnya, maka kami pun kembali memasuki kelas.
Sikap Sabhrina dari kecil memang sangat manja apalagi terhadapku, dia sangat manja dan ingin dinomor satukan. Kalau dilihatnya aku bermain dan mengobrol akrab dengan teman sekelasku, pasti dia akan ngambek dan aku harus membujuknya dengan susah payah. Aku tak merasa keberatan dengan sikap Sabhrina itu karena aku juga sangat menyayangi dia dan akan selalu menjaganya. Itu lah janji ku padanya dilain waktu.
Kebersamaan kami rupanya harus berakhir. Ayah mendapat pekerjaan baru yang lebih bagus dan memutuskan pindah dengan memboyong aku dan ibu, apalagi waktu itu ibu sedang hamil. Perpisahan tak terelakkan. Kami yang masih berumur sepuluh tahun menangis sambil berpelukan dan berjanji untuk tak saling melupakan dan rajin mengirim surat. Aku pun pindah. Awal mula aku rajin menulis surat dan Sabhrina juga rajin membalas suratku. Tapi lama - lama surat - surat itu menjadi tak rajin ku tulis, selain karena tugas yang banyak dari sekolah juga karena teman baru. Aku masih kecil ketika itu dan memoriku semakin pudar akan keberadaan Sabhrina. Surat yang tiap hari menjadi seminggu sekali, lama - lama sebulan sekali dan makin lama menjadi berbulan - bulan baru kukirim bahkan jadi terhenti begitu saja. Lain dengan Sabhrina, dia tetap rajin menulis surat, menceritakan sepinya dia disana, rindunya, ingin bertemu. Tapi karena tak kunjung ku balas surat dari Sabhrina pun terhenti. Memori ku telah awus dan menghilangkan sosok Sabhrina diingatanku.
Sampai hari ini, hari ini lah aku mengingat semua kenangan itu. Hari ketika aku menjalani tugas sebagai dokter di desa dimana masa kecil ku berlangsung. Semula aku tak ingat sampai menginjakkan kaki lagi dibekas rumahku yang sekarang berubah menjadi klinik tempatku bekerja dan rumah Sabhrina telah menjadi rumah tua yang bentuk nya masih sama tapi terlihat tua dan tak terawat. Aku yang mencoba mengingat kenangan masa kecil berjalan kerumah Sabhrina dan disitulah aku bertemu dengannya lagi. Sabhrina menagih janjiku untuk menjadi pangerannya dan menjaganya selamanya. Aku tertegun, apa janji dimasa kecil masih berlaku? dulu aku masih lugu dan polos. Mengucapkan janji begitu saja. Ah, ya mungkin Sabhrina memang lesbian tapi bukan karena itu aku menolak. Aku memang juga lesbian dan aku menyadarinya sejak kecil. Yang membuatku menolak adalah karena sekarang yang sedang berbicara dan menangih janji padakuu adalah roh Sabhrina. Ya, Sabhrina telah meninggal dunia. Tepat ketika kelulusan SD dia mengalami kecelakaan. Tak sengaja sebuah mobil truk menabraknya ketika dia pulang kerumah.
"Lufi.....Sabhrina sudah menunggu sekian tahun disini. Sabhrina yakin Lufi akan kembali. Sekarang Lufi telah kembali dan kita akan bersama lagi." Suara itu terdengar dingin dan membuat bulu kuduk ku merinding. Aku tak dapat bergerak, suara ku pun hanya tertahan dikerongkongan. Sabhrina semakin dekat dan sepertinya aku hanya bisa pasrah.
Langganan:
Postingan (Atom)