Selasa, 19 Februari 2013

Kisah Pendek : SABHRINA

Namanya Sabhrina dan aku telah mengenalnya semenjak bayi, ya walaupun aku tak ingat bagaimana kami berkenalan waktu bayi tapi kami sudah bertetangga sejak lama karena ayah dan ibu membeli rumah disamping rumah Sabhrina waktu mereka baru menikah.
Kami seumuran dan juga anak semata wayang keluarga. Semenjak kecil kami selalu bermain bersama, sekolah di TK yang sama dan di SD yang sama pula. Tiap pulang dari sekolah kami selalu cepat - cepat berganti pakaian, makan siang dan segera berlari bersama untuk bermain di bukit belakang rumah. Aku yang tomboy selalu menjadi pangeran dan dia yang lembut menjadi putri.
"Kalau besar nanti, Lufi akan tetap menjadi pangeran Sabhrina." Kata ku kala itu, kata - kata yang kuceploskan tanpa ku pikir panjang, karena aku masih anak - anak.
"Janji?"
"Lufi janji." Mendengar janjiku, Sabhrina langsung mengecup bibirku. Aku tersenyum dan mengelus kepala Sabhrina dengan sayang. Kami pun saling menautkan jari kelingking. Sungguh indah masa kecil kami, tak perlu memikirkan hal yang rumit. Dimana ada Lufi pasti disitu Sabhrina berada begitu pula sebaliknya. Kami tak terpisahkan.

Saat masuk SD kelas kami berlainan dan Sabhrina menangis karena itu, aku pun berusaha membujuknya.
"Sabhrina mau satu kelas dengan Lufi."
"Tapi guru sudah menentukan kelas kita, Sabhrina tidak boleh begitu nanti Sabhrina dibilang bandel oleh guru."
"Tapi Sabhrina tidak mau pisah dari Lufi." Tangis Sabhrina tak mau berhenti.
"Begini saja, kan kita dikelas untuk belajar jadi tak apa kita beda kelas karena kita tak bisa mengobrol. Nanti waktu istirahat Lufi pasti langsung mencari Sabhrina dan kalau ada PR tetap kita kerjakan bersama." Begitu bijaknya aku ketika kecil dan mendengar itu akhirnya dia menghentikan tangisnya, maka kami pun kembali memasuki kelas.

Sikap Sabhrina dari kecil memang sangat manja apalagi terhadapku, dia sangat manja dan ingin dinomor satukan. Kalau dilihatnya aku bermain dan mengobrol akrab dengan teman sekelasku, pasti dia akan ngambek dan aku harus membujuknya dengan susah payah. Aku tak merasa keberatan dengan sikap Sabhrina itu karena aku juga sangat menyayangi dia dan akan selalu menjaganya. Itu lah janji ku padanya dilain waktu.

Kebersamaan kami rupanya harus berakhir. Ayah mendapat pekerjaan baru yang lebih bagus dan memutuskan pindah dengan memboyong aku dan ibu, apalagi waktu itu ibu sedang hamil. Perpisahan tak terelakkan. Kami yang masih berumur sepuluh tahun menangis sambil berpelukan dan berjanji untuk tak saling melupakan dan rajin mengirim surat. Aku pun pindah. Awal mula aku rajin menulis surat dan Sabhrina juga rajin membalas suratku. Tapi lama - lama surat - surat itu menjadi tak rajin ku tulis, selain karena tugas yang banyak dari sekolah juga karena teman baru. Aku masih kecil ketika itu dan memoriku semakin pudar akan keberadaan Sabhrina. Surat yang tiap hari menjadi seminggu sekali, lama - lama sebulan sekali dan makin lama menjadi berbulan - bulan baru kukirim bahkan jadi terhenti begitu saja. Lain dengan Sabhrina, dia tetap rajin menulis surat, menceritakan sepinya dia disana, rindunya, ingin bertemu. Tapi karena tak kunjung ku balas surat dari Sabhrina pun terhenti. Memori ku telah awus dan menghilangkan sosok Sabhrina diingatanku.

Sampai hari ini, hari ini lah aku mengingat semua kenangan itu. Hari ketika aku menjalani tugas sebagai dokter di desa dimana masa kecil ku berlangsung. Semula aku tak ingat sampai menginjakkan kaki lagi dibekas rumahku yang sekarang berubah menjadi klinik tempatku bekerja dan rumah Sabhrina telah menjadi rumah tua yang bentuk nya masih sama tapi terlihat tua dan tak terawat. Aku yang mencoba mengingat kenangan masa kecil berjalan kerumah Sabhrina dan disitulah aku bertemu dengannya lagi. Sabhrina menagih janjiku untuk menjadi pangerannya dan menjaganya selamanya. Aku tertegun, apa janji dimasa kecil masih berlaku? dulu aku masih lugu dan polos. Mengucapkan janji begitu saja. Ah, ya mungkin Sabhrina memang lesbian tapi bukan karena itu aku menolak. Aku memang juga lesbian dan aku menyadarinya sejak kecil. Yang membuatku menolak adalah karena sekarang yang sedang berbicara dan menangih janji padakuu adalah roh Sabhrina. Ya, Sabhrina telah meninggal dunia. Tepat ketika kelulusan SD dia mengalami kecelakaan. Tak sengaja sebuah mobil truk menabraknya ketika dia pulang kerumah.
"Lufi.....Sabhrina sudah menunggu sekian tahun disini. Sabhrina yakin Lufi akan kembali. Sekarang Lufi telah kembali dan kita akan bersama lagi." Suara itu terdengar dingin dan membuat bulu kuduk ku merinding. Aku tak dapat bergerak, suara ku pun hanya tertahan dikerongkongan. Sabhrina semakin dekat dan sepertinya aku hanya bisa pasrah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menapaki jejak