Selasa, 19 Februari 2013

Kisah Pendek : SENIN

Hari senin bergulir lagi. Hari yang berarti aku akan bertemu kembali dengan mu, memiliki lagi selama lima hari. Tapi senin ini aku merasakan hal lain, mungkin lebih tepatnya sejak jumat yang lalu saat kita habis bercinta. Dengan masih bugil, kau letakkan telapak tanggan ku diperutmu.
“Apakah kamu bisa merasakannya sayang?” Tanya mu ketika itu.
“Merasakan apa? Tambah gemuk?” kamu malah mencubitku gemas.
“Bukan itu sayang. Disini bersemayam janin yang bakal menjadi bayi.” Mendengar itu aku tertegun tak tahu harus berkata apa. Bisa kulihat semburat kebahagiaan terpancar diwajahmu. “selamat.” Hanya kata itu yang terucap sampai aku pergi dan meninggalkan mu yang akan menunggu suami mu datang esok harinya.

Hari jumat, ya hari jumat yang seharusnya aku yang menyampaikan kabar gembira padamu malah berubah terbalik. Bisakah hari ini aku melangkah ke rumahmu. Rumah yang sebentar lagi akan dipenuhi gelak tawa seorang bayi.
Biasanya senin kuhabiskan dengan melihatmu yang berusaha merayu dan menenangkan ku dari cemburu.

Senin merupakan awal perjuanganmu menyingkirkan bayangan suamimu dari benakku. Bahkan untuk sekedar ciuman saja aku bisa membayangkan kau berciuman dengan suamimu. Melihat tubuh telanjangmu membuatku membayangkan tubuhmu yang bersanding mesra dengan tubuh suamimu.

Pertama – tama kau akan mengajakku kekamar mandi, melepas semua pakaianmu dan pakaian ku, lalu dibawa siraman shower kita saling membasuh. Inci perinci ku basuh tubuhmu dari jejak suamimu. Wajahmu kuciumi dengan sejuta ciuman agar hanya aku yang melekat dibenakmu, kusabuni lekuk leher dan ranum payudaramu agar hanya jejakku yang tertinggal disana. Kubasuh lembut tubuhmu agar hanya aku lah yang memilikimu. Kau akan pasrah membiarkan tanganku bergerilya dan kau akan mendesah nikmat saat tanganku bergerak menyapu lembut kewanitaanmu. Senin pagi, dengan air hangat yang membasuh kita, semua akan terlupakan, cemburuku akan hilang dan hanya aku bersamamu.

Senin pagi ketika suami mu kembali lagi keluar kota dimana dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan mu, senin yang berarti pula aku kembali lagi padamu.
Tapi lagi – lagi berat kaki ku melangkah kerumahmu.

Apakah aku harus berhenti menapaki rumahmu? Jumat yang lalu seharusnya kuucapkan kalimat itu, kalimat yang tertahan akibat berita bahagiamu.
“Pergilah bersamaku sayang, aku mendapat pekerjaan di Singapura. Kita akan bahagia disana.” Ya, seharusnya kata itu yang terucap. Tapi aku terlalu pengecut. Bukan karena aku juga wanita sama sepertimu, tapi aku terlalu pengecut untuk membesarkan anak yang kutahu adalah hasil percintaanmu dengan suamimu. Aku terlalu cemburu untuk menyayangi anakmu, ya aku egois, memang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menapaki jejak